KONSEP MENYIAPKAN SISWA UNTUK PENGEMBANGAN KEBIASAAN BAIK.
( Dra. Susana Jarwati )
Peserta didik datang ke Sekolah Menengah Pertama dengan berbagai latar belakang. Perbedaan individu dan lingkungan Sekolah Dasar membuat sesuatu yang unik saat pertama masuk sekolah. Mereka yang berasal dari SD yang terpandang akan lebih percaya diri dibandingkan dengan SD yang dari Desa dengan kualitas yang rendah. Saat pemilihan sekolah lanjutan, peserta didik dan orang tua sudah mengitung-hitung kemampuan untuk masuk. Ada beberapa orang yang diuntungkan dan dirugikan karena faktor NEM dijadikan acuan untuk masuk. Seharusnya tiap sekolah mempunyai otoritas untuk melaksanakan pendidikan secara mandiri. Pada akhirnya penggunaan NEM dalam seleksi menjadi permasalahan sendiri, namun belum pernah ada penelitian yang penulis temui menyangkut masalah ini. Bayangkan kalau akan membuat nasi goreng yang belanja adalah orang lain yang tidak tahu ciri khas makanan yang akan dibuat, kemudian dibelanjakan daging sapi, bayam, lengkuas dan kunir. Mesti juru masak akan bingung hasilnya pasti aneh.
Satu tugas yang tidak termasuk dalam seleksi masuk sekolah, namun harus dikembangkan, dilatih dan disempurnkan pada peserta didik yaitu karakter. Saat lalu karakter terbentuk didalam keluarga dengan Ibu,Bapak dan keluarga menjadi teladan bagi anak-anak mulai kecil. Budaya bergeser dengan perubahan lingkungan dengan cepat. Perkembangan media sosial menjadi satu budaya tersendiri, (Future shock) kata Alfin Tofler. Kecepatan,efisien, pemenuhan target menjadi pedoman dalam kehidupan termasuk dalam pendidikan. Budaya yang sudah berkembang sudah tidak bisa dibendung lagi. Salah satu upaya yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam pembentukan karakter adalah merubah kebiasaan menjadi baik bagi peserta didik. Seluruh stake holder bertanggung jawab dalam perubahan kebiasaan mulai dari keluarga, sekolah dan lingkungan. Kontribusi masing-masing lembaga tergantung kebiasaan yang akan dikembangkan tergantung pada kebiasaan yang akan dibentuk. Berapapun kontribusinya akan berpengaruh pada keberhasilan perubahan kebiasaan.
Pada pembahasan terdahulu, sudah dibahas cara perubahan kebiasaan di sekolah. Dengan tataran yang terbatas pada lembaga keluarga, sekolah dapat memanipulasi kondisi keluarga untuk mendukung program perubahan. Beberapa permasalan negatif di sekolah, banyak muncul dari kekerasan dalam keluarga. Jenis kekerasan dalam terdiri dari penelataran dan penganiayaan. Penelantaran adalah tindakan tidak menyediakan kebutuhan dasar seorang anak. Penganiayaan adalah tidakan memenuhi kebutuhan dasar, namun ada kekerasan fisik dan emosional serta seks. Dampak dari kedua hal tersebut akan muncul kecemasan, depresi, perasaan bersalah, ketakutan, menarik diri, perilaku aneh (acting out). Kejadian kekerasan sebagian besar karena percerian orang tua, ketidaklengkapan orang tua dalam kehidupan sehari-hari karena tuntutan kehidupan. Penelitian di Amerika penelantaran anak mencapai 7,2 % korban dari 1000 anak. (Bath & Harpala,1993)
Penelataran anak ditunjukkan orang tua yang tidak menyediakan kebutuhan dasar hidup, makan,minum, tempat berteduh dan perawatan kesehatan. Dan yang lebih penting lagi penelantaran yang bersifat kebutuhan emosioanal dan spriritual. Dampak yang akan muncul dari penelataran pada anak adalah kesulitan mengendalikan amarah, rendah diri, dan psikopatologi. Sebagian penyebab dari penelantaran anak karena keretakan orang tua (perceraian), masing-masing pihak saling lempar tanggung jawab dalam mendidik anak. Atau kadang anak harus memusuhi salah satu dari orang tua mereka dengan berbagai alasan, sehingga komunikasi terputus. Dendam perceraian ditanamkan dalam-dalam dari anak untuk bisa memusuhi satu pihak. Bisa juga kebingungan anak karena tidak ada jaringan sosial yang dapat diajak komunikasi emosional anak. Keluarga besar di Indonesia yang mempunyai hubungan kekerabatan sangat baik untuk jaringan sosial, namun karena pudarnya kekerabatan jaringan sosial mulai sulit didapatkan. Pada negara maju lembaga-lembaga sosial, club-club sosial banyak memberi bantuan kepada anak-anak yang mengalami penelantaran.
Penganiayaan fisik adalah tindakan dengan memukul,meninju, menendang, menggigit dll oleh orang tua menyebabkan cedera fisik. Penganiayaan emosional adalah tindakan yang menyebabkan harga diri dan pengembangan diri rendah yang berupa kritik konstan atau penolakan. Kadang orang tua yang kurang terdididik menganggap hal ini sebagai sesuatu yang terbiasa. Karena sistem pendidikan karakter dari orang-orang terdahulu berasal dari penjajah yang menginginkan tetap rendah harga diri maka penganiayaan dalam pendidikan dilakukan. Jepang mendidik bangsa Indonesia dalam rangka militerisasi untuk kemajuan asia timur raya. Jaman sekarangpun masih ada kebanggaan dengan kemiliteran, berbagai organisasi banyak yang menggunakan atribut mirip militer. Sehingga bisa disimpulkan kekerasan masih menjadi budaya dalam masyarakat termasuk keluarga.
Sekolah sudah menerima (given) latar belakang dari keluarga yang sulit untuk mendukung adanya perubahan kebiasaan. Berbagai upaya dilakukan oleh sekolah untuk menjembatani sekolah dengan orang tua melalui komunikasi. Sebagian besar orang tua hanya menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah permasalahan anak-anak. Hukuman,sangsi yang diberikan oleh sekolah tidak akan efektif sebagai suatu yang menjadikan jera. Ada semacam kepenuhan dan kecapekan jiwa pada anak-anak yang menghadapi masalah, sehingga tidak dapat konsentrasi untuk belajar di sekolah. Untuk dapat mengembangkan kebiasaan baik di sekolah diperlukan netralitas emosi peserta didik. Beberapa orang memerlukan bimbingan khusus yang tidak bisa diatasi hanya dengan cara konseling seperti biasa.
Penulis menawarkan salah satu teknik terapi yang disebut ERASE therapi untuk mengatasi masalah hubungan dengan orang tua, masalah pelecehan sosial, masalah gangguan psikomatis serta masalah lainnya. Inti dari terapi ERASE adalah menulis. Berbagai penelitian mengungkap bahwa menulis dapat untuk terapi emosi dengan efektif dan menetap dalam jangka panjang. Sebelum melaksanakan langkah-langkah terapi untuk memperoleh hasil yang maksimal yakinkah bahwa akan dilaksanakan terapi untuk menetralkan emosi yang dialami. Kedua anak diminta fokus pada emosi yang akan dinetralisasi. Adapun langkha-langkahnya adalah sbb:
Cek skala intensitas Sampai disini bila intensitas 0 selesai, bila di atas 0 dilanjutkan langkah 3.
Cek skala intensitas Sampai disini bila intensitas 0 selesai, bila di atas 0 dilanjutkan langkah 4.
Cek skala intensitas Sampai disini bila intensitas 0 selesai, bila di atas 0 dilanjutkan langkah 5.
“ Saya akui dengan jujur, saya …….(emosi atau perasaan tidak nyaman), beserta emosi yang tidak nyaman yang mirip dan sejenisnya.
Saat saya melihat, mendengar,membanyangkan, mengetahui, merasakan dan atau mengingat……. (detail kejadian di langkah 2), Dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ……. (si pemicu).
Saya tulus menerima dan menghargai diri saya seutuhnya, dan dengan kesadaran penuh, saya putuskan dengan yakin dan mantab, sekaranglah waktunya, dan aman bagi saya untuk dengan tulus,iklas lepaskan secara permanen semua emosi atau perasaan tidak nyaman yang saya rasakan saat ini.
Beserta semua emosi atau perasaan tidak nyaman, apapun itu yang muncul pada kejadian paling awal, pada kejadian-kejadian lanjutan,pada kejadian tersembunyi atau yang sudah saya lupa sekalipun,yang menjadi penyebab atau akar masalah dari semua emosi atau perasaan tidak nyaman yang saya rasakan tadi.
Saya lepaskan semua sampai tuntas tidak bersisa demi kebaikan dan kemajuan hidup saya yang sungguh berharga.
Cek skala intensitas Sampai disini bila intensitas 0 selesai, bila di atas 0 dilanjutkan langkah 6.
Cek skala intensitas Sampai disini bila intensitas 0 selesai, bila di atas 0 dilanjutkan dengan pertanyaan dibawah ini:
Ulangi langkah pada no 5.
Kegagalan pelepasan emosi karena pertanyaan 2 hal di atas. Emosi yang belum teridentifikasi secara detil akan mempengaruhi perasaan pasca terapi, demikian juga ada kejadian atau memori yang belum diungkap dengan jujur.
Demikian tulisan singkat, semoga bermanfaat.
Beri Komentar